Sampah plastik dijadikan papan belajar hingga perabot kelas
SDN Papela terletak di pulau terpencil Rote Ndao, NTT. Mereka dihadapkan masalah sampah yang serius dan tingkat literasi yang rendah. Lalu sekolah ini meluncurkan inisiatif bernama ‘Ecolitera: Sampah Bercerita’ . Mereka lalu mengubah sampah sehari-hari menjadi alat pendidikan sekaligus mengajar siswa dan komunitas yang lebih luas tentang keberlanjutan.
Melalui Ecolitera, siswa mengumpulkan sampah plastik dengan imbalan perlengkapan sekolah. Menggunakan bahan daur ulang untuk membuat papan baca. Juga membuat perabot kelas dari botol berisi plastik yang dikenal sebagai ecobrick.
Ban bekas juga didaur ulang menjadi pot tanaman untuk tanaman bergizi dengan dukungan dari klinik kesehatan setempat. Kemudian, sampah organik diubah menjadi eco-enzyme, pupuk alami yang dibagikan kepada para petani.
Proyek ini telah membuat dampak besar. Hampir semua siswa kini memilah sampah mereka. Sebagian besar orang tua mempraktikkan daur ulang di rumah. Keterampilan membaca dan menulis telah meningkat sebesar 70%, dan lebih dari 450 ecobrick telah dibuat. Taman sekolah mendukung pendidikan kesehatan, dan produksi eco-enzyme telah memberikan manfaat bagi 24 petani.
Ecolitera telah menyatukan siswa, guru, dan keluarga. Kreativitas mereka diakui pemerintah daerah sebagai model perintis. Ini menunjukkan bagaimana kreativitas dan semangat komunitas dapat mengubah tantangan menjadi peluang untuk masa depan yang lebih sehat dan lebih cerdas.
SMP di Bandung menang AIA Outstanding Mental Wellbeing Award
Pemenang lainnya adalah SMP Negeri 43 Kota Bandung, Jawa Barat. Mereka memenangkan ‘AIA Outstanding Mental Wellbeing Award’ dan berhak atas hadiah senilai 15.000 dolar AS.
Capaian ini diraih atas inisiatif projek yang dilakukan oleh siswa di sana untuk mengatasi masalah perundungan dan kesehatan mental melalui aplikasi seluler yang dimodifikasi.
Sekolah yang terletak di jantung kota Bandung ini memiliki 975 siswa. Siswanya mengembangkan aplikasi ‘Bejakeun.’ Sebagai inisiatif menciptakan rasa “aman dan bahagia’ bagi para siswanya. Aplikasi ini bertujuan mengatasi meningkatnya kekhawatiran seputar perundungan dan kesehatan mental. Di daerah padat penduduk 30% siswa mengalami kecemasan atau depresi, sekolah ini mengambil pendekatan digital-first.
Siswa dan guru bersama-sama mengembangkan aplikasi seluler ‘Bejakeun’ yang berarti ‘berbicara’ dalam bahasa Sunda — untuk memungkinkan laporan anonim tentang perundungan. Aplikasi ini didukung oleh berbagai kegiatan pengembangan emosional dan spiritual. Termasuk pelatihan ESQ (Emotional & Spiritual Quotient), doa mingguan bersama, kampanye anti-perundungan yang dipimpin teman sebaya, dan jangkauan media sosial.
Inisiatif yang dipimpin oleh Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) sekolah, melibatkan guru, siswa, dan orang tua. Kegiatan ini menjangkau 975 siswa. Juga 28 guru wali kelas dan 15 staf TPPK, aktif terlibat.
Hasilnya, terdapat peningkatan kepercayaan diri siswa, empati, dan suasana kelas. Bersamaan berkurangnya kasus perundungan. Orang tua dan guru telah melaporkan peningkatan yang nyata dalam kesejahteraan siswa.
Tantangan Kesehatan Kaum Muda Meningkat
Kompetisi Sekolah Tersehat AIA mendorong gaya hidup aktif, kesejahteraan mental, kesehatan dan keberlanjutan. Juga kebiasaan makan sehat di kalangan siswa SD dan menengah di seluruh Asia-Pasifik.
